(Solusi Praktis Rasulullah SAW dalam Mengatasi Krisis Multi Dimensional)
(Oleh Sunardi,S.Pd.MPd)**
“
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Arra’du : 11)
ada ayat diatas, Allah berfirman, “Allah tidak akan mengubah
nasib suatu kaum, sebelum mereka (kaum tersebut) mengubah diri mereka sendiri.”
Yang menjadi kata kunci (keyword) disini adalah ‘diri’ (dalam ayat
tersebut anfus, jamak dari nafs). Dalam terminologi sosial, kata ‘diri’ (anfus,
nafs) ini mengingatkan kita pada ‘individu’. Sampai di sinilah, sebelum ada
pernyataan populer dalam sosiologi (bahwa), “perubahan struktural tak akan
pernah terjadi tanpa didahului perubahan kultural, dan perubahan kultural tak
akan pernah terjadi tanpa perubahan inidividual,” ternyata Allah SWT sudah
mengekspresikannya melalui QS Arra’du ayat 11 ini yakni perubahan individual
induk dari segalanya. Dalam hadits Rosulullah SAW bersabda : “Ibda’
Binafsik” yang artinya Mulailah
dari diri anda. Hadits ini pada MTQ MUBA ke-24 di Sungai Lilin dijadikan motto
dengan harapan dengan adanya MTQ, setiap kita memulai diri untuk
mengimplementasikan isi alqur’an dan hadits dalam kehidupan sehari hari.
Rasulullah SAW sebagai panutan kita menjadikan Ibda”binafsik sebagai solusi
terbaik dalam membina umat dan mengatasi krisis multi dimensional.
Nabi Muhammad saw adalah contoh teladan terbaik
dan tipologi ideal paling prima. Hal ini digambarkan oleh al-Qur’an surat
Al-Ahzab, 33: 21 yang berbunyi:
(Sesunggunya pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka
yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak
berzikir kepada Allah).
Ketauladanan Nabi diambil, antara lain, karena ia mampu menghadapi berbagai
masalah yang dihadapi secara praktis, realistis, tanpa kehilangan keseimbangan, tanpa kehilangan
idealisme dan tanpa surut dari sebuah misi. Itulah sebabnya Michael H. Hart,
dalam bukunya “Seratus Tokoh Yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah Umat Manusia”, menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh Nomor Satu yang paling berpengaruh
dalam sejarah kehidupan manusia.
Strategi Rasulullah
dalam mengatasi krisis yang paling
ampuh ialah selalui memulai dari diri sendiri. Prinsip ini tertuang dalam
hadits singkat:
إبدء
بنفسك
(mulailah dari diri sendiri).
Strategi mengatasi krisis model ini cukup berhasil
tidak terlepas dari beberapa faktor.
Pertama, kualitas moral-personal yang prima, yang
dapat disederhanakan menjadi empat sebagai sifat wajib bagi Rasul, yakni: siddiq, amanah, tabligh, dan
fahtanah: jujur, dapat dipercaya, menyampaikan apa adanya, dan cerdas.
Keempat sifat ini membentuk dasar keyakinan umat Islam tentang kepribadian
Rasul saw. Kehidupan Muhammad sejak awal hingga akhir memang senantiasa dihiasi
oleh sifat-sifat mulia ini. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, ia telah
memperoleh gelar al-Amin (yang sangat dipercaya) dari masyarakat pagan
Makkah. Pentingnya kualitas moral yang prima ini kembali ia tekankan setelah
menjadi utusan Tuhan dalam haditsnya:
Dari Abu Hurairah, Rasul saw. bersabda:
Sesungguhnya aku diutus guna menyempurnakan kebaikan akhlak. (H.R. Ahmad,
8595).
Kedua,
Integritas. Integritas juga menjadi bagian penting dari kepribadian
Rasul Saw. yang telah membuatnya berhasil dalam mencapai tujuan risalahnya.
Integritas personalnya sedemikian kuat sehingga tak ada yang bisa
mengalihkannya dari apapun yang menjadi tujuannya. Ketika dakwahnya sudah mulai
dianggap sebagai gangguan serius oleh masyarakat Makkah, para pemukanya mencoba
membujuk Muhammad untuk berhenti. Namun ia dengan tegas menolak setiap bujukan
tersebut. Puncaknya adalah ketika kepadanya ditawarkan kedudukan yang tinggi
dalam sistem masyarakat Makkah serta sejumlah besar kekayaan material. Pada
lazimnya kedua tawaran tersebut akan membuat orang goyah pendiriannya. Tetapi
tidak demikian halnya dengan Rasul saw. Dengan sangat tegas namun tetap santun
ia menjawab: Kalaupun mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku, aku tetap tak akan bersedia menghentikan dakwah Islam.
Tidak ada yang dapat dipikirkan oleh para pembesar Makkah lagi untuk membobol
benteng integritas Muhammad, dan karena itu mereka pun lalu beralih pada jalan
kekerasan. Namun cara ini pun dihadapinya dengan kesabaran yang berbuah
keberhasilan.
Ketiga, kesamaan di depan hukum. Prinsip kesetaraan di depan hukum
merupakan salah satu dasar terpenting manajemen Rasul saw. Menanggapi sebuah
masyarakat yang memberlakukan hukuman potong tangan kepada pencuri dari kelas bawah,
tetapi tidak menerapkannya kepada pencuri dari kalangan atas, Rasul saw. dengan
tegas bersabda:
Demi Allah,
kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan
memotong tangannya. (H.R. Bukhari, 3216)
Keempat, Penerapan pola hubungan egaliter dan
akrab. Salah satu fakta menarik tentang nilai-nilai manajerial kepemimpinan
Rasul saw. adalah penggunaan konsep sahabat (bukan murid, staff,
pembantu, anak buah, anggota, rakyat, atau hamba) untuk menggambarkan pola
hubungan antara beliau sebagai pemimpin dengan orang-orang yang berada di bawah
kepemimpinannya. Sahabat dengan jelas mengandung makna kedekatan dan keakraban
serta kesetaraan. Berbeda dengan, misalnya, murid, staff, atau pengikut yang
kesemuanya berkonotasi tingkatan tinggi-rendah. Sahabat lebih bermuatan
kerjasama dua arah, saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Sahabat terasa
sedemikian dekat, seolah tanpa jarak. Konsep persahabatan memang benar-benar
tepat menggambarkan realitas hubungan yang terbina antara Rasul saw. dengan
orang-orang di sekitarnya. Inilah antara lain motivator yang telah membuat para
sahabat rela mengorbankan apa saja (seperti jiwa, raga, harta, waktu) demi
perjuangan Rasul saw. Sebab di dalam hati mereka merasakan bahwa cita-cita
Rasul saw. adalah juga cita-cita mereka sendiri, dan keberhasilan beliau adalah
juga keberhasilan mereka.
Kelima, kecakapan membaca kondisi dan merancang strategi. Keberhasilan
Muhammad saw. sebagai seorang pemimpin tak lepas dari kecakapannya membaca
situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta merancang strategi yang sesuai
untuk diterapkan. Model dakwah rahasia yang diterapkan selama periode Makkah
kemudian dirubah menjadi model terbuka setelah di Madinah, mengikuti keadaan
lapangan. Keberhasilan Rasul saw. dan para sahabatnya dalam perang Badr
jelas-jelas berkaitan dengan penerapan sebuah strategi yang jitu. Demikian pun
peristiwa pahit perang Uhud, adalah saksi kegagalan dalam menerapkan strategi
yang sesungguhnya sudah tersusun rapi dan rinci.
Keenam, tidak mengambil kesempatan dari
kedudukan. Rasul Saw.
wafat tanpa meninggalkan warisan material. Sebuah riwayat malah menyatakan
bahwa beliau berdoa untuk mati dan berbangkit di akhirat bersama dengan
orang-orang miskin. Jabatan sebagai pemimpin bukanlah sebuah mesin untuk
memperkaya diri. Sikap inilah yang membuat para sahabat rela memberikan
semuanya untuk perjuangan tanpa perduli dengan kekayaannya, sebab mereka tidak
pernah melihat Rasul saw. mencoba memperkaya diri. Kesederhanaan menjadi trade
mark kepemimpinan Rasul saw. yang mengingatkan kita pada sebuah kisah
tentang Umar ibn al-Khattab. Seseorang dari Mesir datang ke Madinah ingin
bertemu dan mengadukan persoalan kepada khalifah Umar ra. Orang tersebut
benar-benar terkejut ketika menjumpai sang khalifah duduk dengan santai di
bawah sebatang kurma. Tak ada tanda-tanda bahwa ia adalah seorang pemimpin
besar yang sangat berkuasa—ia tak berbeda dari orang-orang yang dipimpinnya.
Ketujuh, visioner–futuristic. Sejumlah hadits menunjukkan bahwa Rasul
saw. adalah seorang pemimpin yang visioner, berfikir demi masa depan (sustainable). Meski tidak mungkin merumuskan alur argumentasi
yang digunakan olehnya, tetapi banyak hadits Rasul saw. yang dimulai dengan
kata ‘akan datang suatu masa…’, lalu diikuti sebuah deskripsi berkenaan
dengan persoalan tertentu. Kini, setelah sekian abad berlalu, banyak dari
deskripsi hadits tersebut yang telah mulai terlihat dalam realitas nyata.
Berikut adalah beberapa contoh hadits futuristik:
Kedelapan, menjadi prototipe bagi seluruh prinsip dan
ajarannya. Pribadi Rasul Saw. benar-benar mengandung cita-cita dan
sekaligus proses panjang upaya pencapaian cita-cita tersebut. Beliau adalah
personifikasi dari misinya. Oleh karena itu ia dengan mudah dimengerti dan
dengan berhasil menggerakkan masyarakatnya untuk sama-sama berupaya keras
mencapai tujuan bersama. Terkadang kita lupa bahwa kegagalan sangat mudah
terjadi manakala kehidupan seorang pemimpin tidak mencerminkan cita-cita yang
diikrarkannya. Sebagaimana sudah disebut di atas, Rasul saw. selalu menjadi
contoh bagi apa pun yang ia anjurkan kepada orang-orang di sekitarnya.
Selaku umat Islam, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti, mencontoh
dan menteladani semua perilaku terpuji rasulullah yang lebih dikenal dengan
istilah akhlakul karimah. Akhlakul karimah tersebut dapat kita temui dalam
berbagai literatur baik berupa sirah nabawiyah, riwayat-riwayat sahabat beliau,
maupun firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an yang Rasullau selalu
memulainya dari diri belia sendiri. Sebagai Orang tua ketika menyuruh anaknya
untuk tidak merokok atau mengkonsumsi narkoba maka seharusnya kita memulai diri
untuk tidak merokok dam mengkonsumsi narkoba. Sebagai guru ketika menyuruh anak
didiknya untuk belajar maka seharusnya harus memulai dirinya untuk senentiasa
belajar. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Asshaf : 2
Wahai
orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? (QS 61 :2)
Wallahua’lam
bishowwab.
**) adalah Guru di Musi Banyuasin Sumatera Selatan