Friday 12 June 2009

“UJIAN NASIONAL”, PERLUKAH ??”

by Sunardi

Pendidikan saat ini mendapat perhatian yang serius dari pemerintah (pusat dan daerah) dan masyarakat, terbukti dengan peningkatan anggaran pendidikan yang mencapai rata-rata 20% baik pada APBN maupun APBD pada sejumlah daerah (propinsi dan kabupaten/kota). Menurut Undang Undang nomor 20 tahun 2003 dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya secara implisit pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk peserta didik yang paripurna. Dalam Undang Undang tentang Sistem pendidikan Nasional ini juga dikatakan bahwa di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia pendidikan harus memenuhi kriteria minimal yakni memenuhi 8 Standar Nasional Pendidikan yang diatur lebih lanjut pada peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.

Ujian Nasional (UN) merupakan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah yang juga harus memenuhi standar penilaian pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik sesuai dengan permendiknas nomor 20 tahun 2007 tentang Standar penilaian pendidikan. Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan. Namun, apakah Ujian nasional yang dilaksanakan selama ini sudah memenuhi standar yang ada sesuai Prosedur Operasi Standar (POS) yang dikeluarkan oleh Badan Standar nasionall pendidikan (BSNP) ? Sementara kita membaca dan melihat di media massa maupun media elektronik ketika UN dilaksanakan begitu banyak beredar kunci jawaban melalui sms yang notabene tidak jelas darimana sumber kunci jawaban tersebut. Apakah pelaksanaan UN yang demikian mampu mengukur pencapaian kompetensi peserta didik yang sebenarnya ?. Ironisnya ada sekolah bertaraf internasional yang 100 % siswanya tidak lulus UN 2009, dan ada juga sekolah yang biasa-biasa justru lulus 100% dengan nilai yang tinggi. Itu semua karena hasil UN merupakan syarat dan penentu kelulusan yang mutlak. Padahal dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) menekankan penilaian berbasis kelas, artinya penilaian yang otentik (autentic assesment) adalah penilaian saat proses pembelajaran berlangsung yang pelaksanaannya diserahkan kepada sekolah/ guru sesuai dengan kondisi sekolah yang ada. Inilah yang menurut penulis penyebab utama terjadinya perdebatan tentang pelaksanaan Ujian Nasional ini. Lalu apakah Ujian nasional perlu dilaksanakan dan bagimana pelaksanaannya ?. Artikel singkat ini mengulas bagiamana pelaksanaan Ujian Nasional yang ideal menurut pemikiran penulis.

Adapun Manfaat dan Kelebihan Ujian Nasional adalah sebagai berikut :

1. UN dapat menggambarkan indikator kondisi pendidikan di Indonesia secara umum, artinya lembaga pendidikan internasional (UNESCO dll) dapat mengetahui kondisi pendidikan di Indonesia melalui UN.

2. UN dapat memacu sekolah, dinas pendidikan (propinsi dan kab/kota) untuk berkompetisi dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

3. UN dapat memotovasi guru untuk senantiasa meningkatkan kualitas pembelajaran, sehingga guru senantiasa meningkatkan kompetensinya untuk menuju guru yang professional.

4. UN juga dapat memotivasi siswa untuk terus belajar sehingga mampu meraih nilain UN yang tinggi. Artinya disini dengan dilaksanakannya UN dapat membelajarkan siswa sehingga mampu berkembang secara optimal dalam mengembagkan potensinya.

Namun disamping kelebihan dan manfaat diatas, pelaksanaan UN juga memiliki kelemahan dan dampak negative, diantarnya adalah :

1. Standar nilai UN sama di seluruh Indonesia, sementara kondisi baik sarana prasarana, guru, input siswa di setiap daerah terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Apakah wajar sekolah yang di Jakarta misalnya SMPN 115 jakarta dengan fasilitas dan guru yang sangat lengkap standar kelulusannya disamakan dengan SMP Hidayatutthullab yang berada di Air Tenggulang Sumsel yang baik fasilitas maupun guru masih sangat kurang ?

2. Dengan dilaksanakannya nilai UN sebagai syarat kelulusan akan menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. Hal ini terjadi karena UN masih dijadikan standar apakah pendidikan di suatu sekolah itu berkualitas atau tidak. Tingginya nilai UN di sekolah atau daerah masih dianggap sebagai gambaran kualitas pendidikan disekolah/ daerah tersebut. Hal ini akan mendorong sekolah/daerah melakukan kecurangan UN.

3. Pemanfaatan Anggaran Dana yang mubadzir (sia-sia). Pelaksanaan UN menghabiskan dana yang tidak sedikit baik dari perencanaan,pelaksanan maupun monev UN misalnya pencetakan naskah soal, pengawalan naskah soal, kepengawasan, tim independen, dan lain lain. Sementara hasil yang dicapai UN tidak mampu menjamin gambaran pencapaian kompetensi peserta didik yang sebenarnya sesuai dengan tujuan Un itu sendiri.

4. UN merupakan penilaian yang sifatnya temporal (sesaat) dan hanya menilai 1 aspek saja, namun menentukan kelulusan. Hal ini bertentangan dengan penilaian berbasis kelas (PBK) yang menitikberatkan penilaian selama proses pembelajaran yang seharusnya lebih menentukan syarat kelulusan karena dilaksanakan secara kontinu.

Dari uraian diatas penulis sepakat Ujian Nasional tetap dilaksanakan, namun masih perlu koreksi dalam hal pelaksanaanya. Pelaksanaan UN seharusnya adalah sebagai berkut :

1. Nilai UN jangan dijadikan satu-satunya syarat kelulusan karena UN hanya dilaksanakan beberapa hari, semntara pembelajaran dilaksanakan selama 3 tahun. Dengan tidak dijadikannya UN sebagai syarat kelulusan maka berimplikasi kepada kejujuran dalam pelaksanaanya sehingga UN akan menilai kompetensi/kemampuan peserta didik yang sebenarnya.

2. Pelaksanaan UN tidak dicampuri oleh kepentingan politik. Seperti kita ketahui dengan berlakunya otonomi daerah, kepala daerah (bupati/ walikota dan gubernur) tidak ingin pendidikan di daerahnya berlebel rendah (tidak berkualitas) dengan rendahnya rata-rata nilai UN yang dicapai. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kecurangan-kecurangan dakam pelaksanaan UN. Pejabat seharusnya tidak mencampuradukkan antara dunia pendidikan dengan dunia politik, karena pada hakikatnya pendidikan adlah tanggung jawab bersama ( pemerintah dan masyarakat). Pemerintah bersama masyarakat seharusnya sama-sama berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara yang baik, arif, dan benar.

3. Nilai UN dapat dijadikan syarat kelulusan, namun menurut penulis perlu adanya grade (tingkatan) standar kelulusan di setiap daerah. Artinya syarat kelulusan di Sumatera Selatan berbeda dengan di Jakarta. Disamping itu syarat kelulusan nilai UN bisa dikategorikan berdasarkan hasil akreditasi. Sekolah dengan akreditasi A memiliki standar kelulusan yang bebeda dengan sekolah dengan akreditasi B.

4. Pelaksananan UN tidak perlu melibatkan banyak pihak yang kurang bermanfaat sehingga berimpilaksi kepada efisiensi dana. Terlalu banyak pihak yang terlibat hanya menghamburkan dana sehingga dana yang kurang bermanfaat dapat digunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan pada sektor lain.

Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa Ujian Nasional masih perlu dilaksanakan agar gambaran riil pendidikan di Indonesia dapat diketahui dan dapat memotivasi daerah/sekolah untuk senantiasa meningkatkan kualitas sehingga mencapai 8 Standar nasional pendidikan sesuai dengan PP nomor 19 tahun 2005. Namun yang perlu diperbaiki adalah pelaksanaannya sehingga UN yang dilaksanakan benar-benar dapat mencapai tujuan UN itu sendiri dan tujuan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. .


*) Penulis adalah guru Fisika SMP Negeri 1 Sungai Lilin MUBA Sumsel


1 comment:

  1. Artikel bagus. UN memang sudah lama jadi polemik yang sepertinya tak kunjung habis dipermasalahkan. Di satu sisi pemerintah masih bingung mencari alternatif pengganti UN. Namun, di sisi lain, pelaksanaan UN terus menjauh dari tujuan sebenarnya. Menurut saya, hal yang menarik adalah penyamaan standar kelulusan untuk setiap daerah. Wong ndeso kok disamakan kualitasnya dengan wong kota?? saya juga wong ndeso dan merupakan salah satu yang merasakaan efek dari penyamaan standar itu

    ReplyDelete

mohon komentar anda

Perlombaan Inovasi Pembelajaran (Inobel) Guru Tingkat Nasional oleh Dirjen GTK Kemdikbud

Salah satu perlombaan guru tingkat nasional yang paling bergengsi bagi guru se Indonesia adalah Lomba Inobel. Perlombaan ini merupa...